DEKLARASI ISLAM TENTANG HAM[1]
Deklarasi islam tentang HAM ini, merupakan upaya konseptual-kritis
terhadap berbagai ikhtiar yang selama ini dikehendaki, baik oleh lembaga-lembaga
internasional maupun oleh bangsa kita. Sebab, sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya
muslim, HAM islam pasti sudah liat dengan keseharian, hanya saja secara formal
dan menurut sistematika modern, perlu dijabarkan lebih rinci. Bagi seorang
muslim tidak ada pilihan lagi, kecuali mengacu kepada HAM islam dalam
menyelesaikan persoalan persoalan yang menyangkut pekanggaran HAM.
Selanjutnya DR. Abdul Kariem Ustman, yang menitikberatkan pada
“perspektif islam tentang kebebasan, persamaan dan keadilan”. Mencoba membedah
dimensi kebebasan manusia serta persamaannya yang lebih banyak ditampilkan oleh
sahabat Rasul SAW, Umar Bin Khatab. Disusul dengan rincian kebebasan dalam
kehidupan keseharian kita.
Kajian mengenai keadilan, secara definitif maupun peraktek juga dibahas oleh DR. Ustman.
“Adil” yang selama ini diartikan secara relatif, direduksi oleh konsep keadilan
islam, yang justru punya dimensi Mutlak dan Univesal yang mengetengahkan
bagaimana kebebasan itu dalam konsep islam, termasuk didalamya kebebasan
berbicara, berpendapat berpikir, berserikat, beragama dan kebebasan mencintai sesama.
Sementara pembahasan tantang penanggulangan multi rasial, dan etnis
secara jernih diungkap oleh Prof. Mohammad Al-Mubarak. Dimensi-diensi etnikal,
ras maupun kelompok secara riil diakui oleh adanya islam. Tetapi sebaga
ideologi rasis yang bersifat primordial,maka secara fundamental islam
menentangnya. Terutama seperti kelompok-kelompok yang melembagakan dirinya
secara poilitik dan intelektual yang membawa kepentingan pribadinya untuk
memproleh kekuasaan karena mereka teracuan kepada HAM.
Jika kepentingan pribadi atau kelompok independen menjadi ukuran
mekanisme dalam hubungan kemanusiaan, tentu tak bisa dihindari, tampilnya unsur
kepentingan menurut ukuran masing-masing yang lebih menguntungkan pihak
terkuat. Gilirannya bisa diuga akan terjadi perebutan “tumpeng kepentingan” itu
sendiri didasarkan pada hak dan kewajiban manusia secara fundamental dan adil.
Kepentingan memang tak bisa dihindari dari pergulatan manusia.
Namun, ukuran kepentingan kepentingan seringkali dikaburkan oleh slogan-slogan
semu, hanya untuk menguatkan moralitas. Oleh sebab itu “kepentingan” harus meneracakan dirinya
dengan keadilan dan nurani kemanusiaan. Sementara keadila itu sendiri, akan
mutlak apabila kembali kepada HAM, kemerdekaan, persamaan, dan kebebasan yang
punya dasar universal. Neraca inilah yang mampu membendung desakan-desakan
ideologis, politik dan ekonomi yang sering memanipulasi lembaga-lembaga
peradilan dan kesamaan hak dihadapan hukum.
PERSPEKTIF ISLAM TERHADAP HAM
Jika setiap orang dalam suatu ruangan diperbolehkan untuk berbicara
pada saat tidak ada seorangpun yang dapat mendengarkan seseorang yang lain,
maka keadaan yang demikian ini dapat mengubah tujuan kebebasan bebicara (freedom
of speech) menjadi terkalahkan. Apa yang benar dari sekelompok orang dalam
suatu ruangan itu sama benarnya dengan masyarakat secara keseluruhan. Area
kebebasan itu tidak boleh tidak terbatasi, karena jika tidak terbatasi, maka ia
kan memerlukan sesuatu keadaan ydimana seluruh manusia dapat mencampuri tanpa
ada batas terhadap urusan orang lain. Dan macam kebebasan ini akan menghasilkan
kekacaubalauan sosial yang mengakibatkan kebutuhan-kebutuhan hidup minimum
manusia akan dapat ditekan oleh yang kuat.[2]
HAM dalam pandangan islam berkelindan dengan hak Allah yang telah
dianugerahkan kepada manusia secara absoulut. Hak Allah yang melimpah, kemudian
diemban manuisia, tertuan dalam ketentuan hukum dan syariat yang justru memberi
penghormatan besar kepada manusiaan. Karena pada dasarnya manusia tidak mampu
menghukumi dirinya sebdiri. Manusia bukan seperti lontaran pandangan
individualisme yang menghukumi perilaku manusia oeh dan untuk diriya sendiri.[3]
Menurut syariat manusia adalah makhluk bebas yang punya tugas dan
tanggung jawab. Karena ia punya hak dan kebebesan. Dasarnya adalah keadilan
yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter tanpa pandang bulu, artinya
tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan. Kebebasan secara
eksitensial tidak akan ada tanpa tanggung jawab itu sendiri. Karena itu, HAM
dalam islam bukanlah produk historik yang muncul dari pemikiran ideologis,
namun islam punya dimensi teologis dan dipertanggung jawabkan dihadapan ilahi
di hari kemudian.[4]
Oleh sebab itu, dalam islam HAM bukanlah produk ideologi ataupun
akibat perkembangan politik, namun merupakan hak asasi yang tertuang secara
transenden untuk kepentingan manusia, lewat syariat yang diturunkan melalui
wahyu.[5]
Lebih tepatnya itu adalah amal shaleh yang memang sudah dianjurkan dalam islam
dan bisa dipertanggung jwabkan kepada ilahi.
Semangat dan hikmah yang ilahi dalam HAM ini semata untuk
mengangkat harkat kemanusiaan, sebagai makhluk yang berharkat luhur ( ahsana
taqwiim), namun tidak juga dihindarkan manakala hakikat itu ternodai oleh
perilakunya sendiri yang akhirnya terkubang dalam lumpr ketika mereka tidak
menghormati hak-hak dan kewajibannya yang telah diberikan Allah Swt maka sama
saja mereka kembali ke (ahsana safiliin).[6]
[1] Hakiem,
M. Luqman, Ed. Deklarasi Islam Tentang HAM.
Risalah Gusti. Surabaya. 1993. Halaman 2.
[2] Isaiah
Berlin, Two Concept of liberty, from modern political thought, F-bestein,
Oxford, Hal 177.
[3] Hakiem,
M. Luqman, Ed. Deklarasi Islam Tentang HAM.
Risalah Gusti. Surabaya. 1993. Hal 12.
[4] Ibid hal
12.
[5] Ibid hal
12.
[6] Ibid hal
12.